Rabu, 10 Mei 2017

Tugas Konservasi Arsitektur 1

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ARSITEKTUR DI INDONESIA

Sejarah Arsitektur Indonesia

Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan bangunan baru  kontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang dibangun oleh  zaman kuno. Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari arsitektur tradisional,  terutama bangunan rumah hunian, dengan beberapa penyesuaian membangun  oleh beberapa generasi ke generasi. Arsitektur Baru atau kontemporer lebih  banyak menggunakan materi dan teknik konstruksi baru dan menerima pengaruh  dari masa kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan. Pengenalan semen dan  bahan-bahan modern lainnya dan pembangunan dengan pertumbuhan yang cepat  telah menghasilkan hasil yang beragam. 

Arsitektur Klasik Indonesia 
Ciri khas arsitektur klasik Indonesia dapat dilihat paada bangunan candi dengan  struktur menaranya. Candi Buddha dan Hindu dibangun dari batu, yang dibangun
 di atas tanah dengan cirikhas piramida dan dihiasi dengan relief. Secara simbolis,
 bangunan adalah sebagai representasi dari Gunung Meru yang legendaris, yang 
dalam mitologi Hindu-Buddha diidentifikasi sebagai kediaman para dewa. Candi  Buddha Borobudur yang terkenal dari abad ke-9 dan Candi Prambanan bagi umat  Hindu di Jawa Tengah juga dipenuhi dengan gagasan makro kosmos yang  direpresentasiken dengan sebuah gunung. Di Asia Timur, walau dipengaruhi oleh  budaya India, namun arsitektur Indonesia (nusantara) lebih mengedapankan  elemen-elemen masyarakat lokal, dan lebih tepatnya dengan budaya petani. 

Budaya Hindu paling tidak 10 abad telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia  sebelum pengaruh Islam datang. Peninggalan arsitektur klasik (Hindu-Buddha)  di Indonesia sangat terbatas untuk beberapa puluhan candi kecuali Pulau Bali  yang masih banyak karena faktor agama penduduk setempat.

Arsitektur tradisional dan vernakular di Indonesia berasal dari dua sumber.  Pertama adalah dari tradisi Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui  Jawa. Yang kedua adalah arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang  kebanyakan ditemukan di daerah pedesaan dibangun dengan menggunakan  bahan-bahan alami seperti atap ilalang, bambu, anyaman bambu, kayu kelapa,  dan batu. Bangunan adalah penyesuain sepenuhnya selaras dengan lingkungan  sekitar. Rumah-rumah di pedalaman di Indonesia masih banyak yang menggunakan  bambu, namun dengan seiring dengan proses modernisasi, bangunan-bangunan  bambu ini sedikit demi sedikit diganti dengan bangunan dinding bata.
Bangunan vernakular yang tertua di Indonesia saat ini tidak lebih dari sekitar 150  tahun usianya. Namun dari relief di dinding abad ke-9 di candi Borobudur di Jawa  Tengah mengungkapkan bahwa ada hubungan erat dengan arsitektur rumah  vernakular kontemporer yang ada saat ini. Arsitektur vernakular Indonesia juga  mirip dengan yang dapat ditemukan di seluruh pulau-pulau di Asia Tenggara.  Karakteristik utamanya adalah dengan digunakannya lantai yang ditinggikan  (kecuali di Jawa), atap dengan kemiringan tinggi menyerupai pelana dan  penggunaan material dari kayu dan bahan organik tahan lama lainnya. 

Pengaruh Islam dalam Arsitektur 
Budaya Islam di Indonesia dimulai pada tahun 13 Masehi ketika di Sumatra  bagian utara muncul kerajaan Islam Pasai di 1292. Dua setengah abad kemudian  bersama-sama juga dengan orang-orang Eropa, Islam datang ke Jawa. Islam tidak  menyebar ke kawasan Indonesia oleh kekuatan politik seperti di India atau Turki  namun lebih melalui penyebaran budaya. Budaya Islam pada arsitektur Indonesia  dapat dijumpai di masjid-masjid, istana, dan bangunan makam. 

Menurunnya kekuatan kerajaan Hindu Majapahit di Jawa menandai bergantinya  periode sejarah di Jawa. Kebudayaan Majapahit tersebut meninggalkan  kebesarannya dengan dengan serangkaian candi-candi monumental sampai abad  keempat belas. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa "Zaman Klasik" di Jawa  ini kemudian diganti dengan zaman "biadab" dan juga bukanlah awal dari  "Abad Kegelapan". Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam melanjutkan budaya  lama Majapahit yang mereka adopsi secara jenius. "New Era" selanjutnya  menghasilkan ikon penting seperti masjid-masjid di Demak, Kudus dan Banten  pada abad keenam belas. Juga dengan situs makam Imogiri dan istana-istana  Yogyakarta dan Surakarta pada abad kedelapan belas. Fakta sejarah  menunjukkan bahwa Islam tidak memperkenalkan bentuk-bentuk fisik baru dan  ajaran-ajarannyapun diajarkan lebih dalam cara-cara mistis oleh para sufi, atau  dengan kata lain melalui sinkretisme, sayangnya hal inilah yang mempengaruhi  ‘gagal’nya Islam sebagai sebuah sistem baru yang benar-benar tidak  menghapuskan warisan Hindu ( lihat Prijotomo, 1988).
 
1. masjid kudus
https://ilmuygdicari.files.wordpress.com/2011/08/masjid-kudus.jpg

Penyebaran Islam secara bertahap di kawasan Indonesia dari abad ke-12 dan  seterusnya dengan memperkenalkan serangkaian penting pengaruh arsitektur.
 Namun, perubahan dari gaya lama ke baru yang lebih bersifat ideologis baru 
kemudian teknologi. Kedatangan Islam tidak mengarah pada pengenalan  bangunan yang sama sekali baru, melainkan melihat dan menyesuaikan bentuk- bentuk arsitektur yang ada, yang diciptakan kembali atau ditafsirkan kembali  sesuai persyaratan dalam Islam. Menara Kudus, di Jawa Tengah, adalah contoh  dalam kasus ini. Bangunan ini sangat mirip dengan candi dari abad ke-14 di era  kerajaan Majapahit, menara ini diadaptasi untuk kepentingan yang lebih baru  dibangun masjid setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Demikian pula,  masjid-masjid di awal perkembangan Islam di Indonesia murni terinspirasi dari  tradisi bangunan local yang ada di Jawa, dan tempat lain di Nusantara, dengan  empat kolom utama yang mendukung atap tengahnya. Dalam kedua budaya ini  empat kolom utama atau Saka Guru mempunyai makna simbolis. 

Gaya Belanda dan Hindia Belanda 
Pengaruh Barat di mulai jauh sebelum tahun 1509 ketika Marco Polo dari Venesia
 melintasi Nusantara di 1292 untuk kegiatan perdagangan. Sejak itu orang-orang 
Eropa berusaha untuk merebut kendali atas perdagangan rempah-rempah yang  sangat menguntungkan. Portugis dan Spanyol, dan kemudian Belanda,  memperkenalkan arsitektur mereka sendiri dengan cara awal tetap menggunakan
 berbagai elemen arsitektur Eropa, namun kemudian dapat beradaptasi dengan 
tradisi arsitektur lokal. Namun proses ini bukanlah sekadar satu arah: Belanda  kemudian mengadopsi unsur-unsur arsitektur pribumi untuk menciptakan bentuk  yang unik yang dikenal sebagai arsitektur kolonial Hindia Belanda. Belanda juga  sadar dengan mengadopsi arsitektur dan budaya setempat kedalam arsitektur  tropis baru mereka dengan menerapkan bentuk-bentuk tradisional ke dalam  cara-cara modern termasuk bahan bangunan dan teknik konstruksi. 

2. Gereja Bleduk
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQMBqaHypNhPcHIFi8Ucc2FN3JnkvbEsnetyeXIjOSbWbfL-D8Bs-6EdOvBhE5IIjjcjqslGXqEDzN3CgGfLs4zCSrPT2DSuj1K1S2B0oYoOt9WtT25DQFolMoP5nkCqC_x3Dh5iUL0Ks/s320/gereja+blenduk.JPG

Bangunan kolonial di Indonesia, terutama periode Belanda yang sangat panjang  1602 - 1945 ini sangat menarik untuk menjelajahi bagaimana silang budaya  antara barat dan timur dalam bentuk bangunan, dan juga bagaimana Belanda  mengembangkan aklimatisasi bangunan di daerah tropis. Menurut Sumalyo (1993),
 arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah fenomena budaya unik yang 
pernah ditemukan di tempat lain maupun di tanah air mereka sendiri.  Bangunan-bangunan tesebut adalah hasil dari budaya campuran kolonial dan  budaya di Indonesia. 

Perbedaan konsep Barat dan Indonesia ke dalam arsitektur adalah terletak pada  korelasi antara bangunan dan manusianya. Arsitektur Barat adalah suatu  totalitas konstruksi, sementara itu di Timur lebih bersifat subjektif, yang lebih  memilih penampilan luar terutama façade depan. Kondisi alam antara sub-tropis  Belanda dan tropis basah Indonesia juga merupakan pertimbangan utama  bangunan Belanda di Indonesia. 

Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk  bangunan mereka di awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal kolonisasi  Eropa awal abad 18, jenis bangunan empat musim secara langsung dicangkokkan  Belanda ke iklim tropis Indonesia. Fasade datar tanpa beranda, jendela besar,  atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di bagian tertua kota bertembok  Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama (Widodo, J. dan YC. Wong 2002). 

Menurut Sumintardja, (1978) VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat  kegiatan perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia sebagai  benteng Batavia. Di dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni, memiliki  bentuk yang sederhana seperti rumah asli di awal tapi belakangan diganti  dengan rumah gaya Barat (untuk kepentingan politis). Dinding batu bata rumah,  mereka mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap genteng  dan interior furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama rumah-rumah  tanpa halaman, dengan bentukan memanjang seperti di Belanda sendiri. Rumah- rumah ini ada dua lantai, sempit di façade tapi lebar dalam. Rumah tipe ini  selanjutnya banyak digunakan oleh orang-orang cina setelah orang Belanda  beralih dengan rumah-rumah besar dengan halaman luas. Rumah-rumah ini  disebut sebagai bentuk landhuizen atau rumah tanpa beranda dalam periode awal,  setelah mendapat aklimatisasi dengan iklim setempat, rumah-rumah ini dilengkapi  dengan beranda depan yang besar seperti di aula pendapa pada bangunan  vernakular Jawa. 

Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami  gempa dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun  hanya dalam satu lantai saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat,  rumah-rumah itu kembali dibangun dengan dua lantai lagi. 

Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah  pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW)  pada 1814-1930. Sekitar tahun 1920-an 1930-an, perdebatan tentang masalah  identitas Indonesia dan karakter tropis sangat intensif, tidak hanya di kalangan  akademis tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda, seperti Thomas  Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak lainnya,  terlibat dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian
 yang paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia adalah 
periode sekitar 1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi  mengembangkan sebuah wacana baru yang dikenal sebagai "Indisch-Tropisch" yaitu
 gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi Belanda 

Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar koridor  yang memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari sinar  matahari langsung dan lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih tinggi dan  kadang-kadang dibangun oleh dua lapis dengan ruang yang digunakan untuk  ventilasi panas udara. 

Arsitek-arsitek Belanda mempunyai pendekatan yang baik berkaitan dengan alam  di mana bangunan ditempatkan. Kesadaran mereka dapat dilihat dari unsur  konstruksi orang yang sangat sadar dengan alam. 
Dalam Sumalyo (1993,): Karsten pada tahun 1936 dilaporkan dalam artikel:  "Semarangse kantoorgebouwen" atau Dua Office Building di Semarang Jawa Tengah: 

1. Pada semua lantai pertama dan kedua, ditempatkan pintu, jendela, dan  ventilasi yang lebar diantara dia rentang dua kolom. Ruangan untuk tiap lantai  sangat tinggi; 5, 25 m di lantai pertama dan 5 m untuk lantai dua. Ruangan yang  lebih tinggi, jendela dan ventilasi menjadi sistem yang baik untuk memungkinkan  sirkulasi udara di atap, ada lubang ventilasi di dinding atas (di atas jendela) 

2. Disamping lebar ruang yang lebih tinggi, koridor terbuka di sisi Barat dan Timur  meliputi ruang utama dari sinar matahari langsung. 

Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak orang  membangun vila mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi  beradaptasi dengan alam ditandai dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor  terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari sinar matahari langsung.  Di Bandung, Villa Isolla adalah salah satu contoh arsitektur yang baik ini (oleh Schoemaker1933) 

3.villa isola
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg28WnXJVn7faDxoTlqX-wF0OMkvlNNe8WHpjoG6cipIoFmVfva9Ooa0kDhbMQCdTVYgJlxh0g8av_zuEXdAxTEhiJAeN8THRL3u8rvVQlUK92SPaZ8iqRmYkKxYkLSBkiO5wrVGjkwMHBv/s1600/villa-isola-bandung3.jpg

Arsitektur Kontemporer Indonesia 
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, bangunan modern mengambil alih  Indonesia. Kondisi ini berlanjut ke tahun 1970-an dan 1980-an ketika  pertumbuhan eknomi yang cepat Indonesia yang mengarah pada program-program  pembangunan besar-besaran di setiap sector mulai dari skema rumah murah,  pabrik-pabrik, bandara, pusat perbelanjaan dan Banyak proyek bergengsi yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang diterapkan
 diri mereka untuk merancang secara khusus untuk konteks Indonesia. Seperti 
halnya kota-kota besar di dunia, terutama di Asia, sebagai korban dari globalisasi  terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi budaya.


Arsitektur modern Indonesia umumnya mulai di sekitar tahun 50an dengan  dominasi bentuk atap. Model bangunan era kolonial juga diperluas dengan teknik
 dan peralatan baru seperti konstruksi beton, AC, dan perangkat lift. Namun,
 sepuluh tahun setelah kemerdekaan, kondisi ekonomi di Indonesia belum cukup
 kuat. Sebagai akibat, bangunan yang kurang berkualitas terpaksa lahir. Semua itu
 sebagai upaya untuk menemukan arsitektur Indonesia modern, seperti halnya 
penggunaan bentuk atap joglo untuk bangunan modern. 

Arsitektur perumahan berkembang luas pada tahun 1980-an ketika industri  perumahan booming. Rumah pribadi dengan arsitektur yang unik banyak lahir  tapi tidak dengan perumahan massal. Istilah rumah rakyat, rumah berkembang,
 prototipe rumah, rumah murah, rumah sederhana, dan rumah utama dikenal 
baik bagi masyarakat. Jenis ini dibangun dengan ide ruang minimal, rasional  konstruksi dan non konvensional (Sumintardja, 1978) 


Permasalahan untuk Arsitektur Indonesia 
Gerakan-gerakan baru dalam arsitektur seperti Modernisme, Dekonstruksi, Postmodern, dll tampaknya juga diikuti di Indonesia terutama di Jawa. Namun, dalam kenyataannya, mereka menyerap dalam bentuk luar saja, bukan ide-ide dan proses berpikir itu sendiri. Jangan heran jika kemudian muncul pandangan yang dangkal; "Kotak-kotak adalah Modern, Kotak berjenjang adalah pasca Modern"
 (Atmadi, 1997). Arsitektur hanya hanya dilihat sebagai objek bukan sebagai
lingkungan hidup.

Sumalyo, (1993) menyatakan bahwa pandangan umum arsitektur Barat: 'Purism',  di mana untuk menunjuk Bentuk dan Fungsi, adalah berlawanan dengan  konsep-konsep tradisi yang memiliki konteks dengan alam. Kartadiwirya, dalam  Budihardjo (1989,) berpendapat, mengapa prinsip tropis 'nusantara' arsitektur  jarang dipraktekkan di Indonesia adalah karena pemikiran dari proses  perencanaan tidak pernah menjadi pemikiran. Mereka hanya hanya mengajarkan  tentang perencanaan konvensional selama 35 tahun tanpa perubahan berarti  sampai beberapa hari. Sayangnya hamper semua bahan pengajaran dalam  arsitektur berasal dari cara berpikir Barat yang menurut Frick (1997) telah  menghasilkan kelemahan arsitektur Indonesia. Dia juga menjelaskan bahwa  Bahan menggunakan bangunan modern hanya karena alasan produksi massal  yang lebih 'Barat' dan jauh dari tradisi setempat. Kondisi ini telah memicu  penggunaan bahan yang tidak biasa dan tanpa kondisi lokal.

sumber : http://albertusfajarc.blogspot.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar