Arsitektur Pada Candi Borobudur
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja
ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur. Kaki tersembunyi ini
terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga.
Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk
bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. Kaki asli ini
tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang
cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga
bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori
lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan
perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu sastra, kitab
India mengenai arsitektur dan tata kota.Apapun alasan penambahan kaki
ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti
dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau
"nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki
asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel ceritaKarmawibhangga yang
kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara
disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada
bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli
ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong
dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan
1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas.
Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk
atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya
terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang
sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit
perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu
menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna,
sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika
(stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan
ukiran relief.
Arupadhatu
Tingkatan ini melambangkan alam atas,
di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk
dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran
terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga
barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa
kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang
masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras
terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat,
satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk
kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa
yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar
patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan
cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni
arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan
tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa
digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini
pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga
Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung
'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada
patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan
kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
Struktur bangunan
Monumen
ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah
dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran,
100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan
yang unik berbentuk kepala raksasa makara.Sekitar 55.000 meter kubik
batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk
membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu,
diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur
Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling
kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa
perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat
dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua
blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan
dinding rampung.
Borobudur
amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun
di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik
pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak
memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah
lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong
dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum
rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di
lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan
kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya
berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi. Stupa memang
dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang
stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah.
Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini
memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa
ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan
perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk
arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut
legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma,
sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih
berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti
bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai
perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring.
Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring
berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini
hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala,
yaitu panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga
ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari
kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja
satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan
tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977
mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini.
Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari
suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur. Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi
Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan
satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi.
Relief
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang
artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya,
antara lain relief-relief cerita jataka. Pembacaan cerita-cerita relief
ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di
setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah
kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah
tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya
bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa
benar. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa
lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati
dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung,
istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka
tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para
peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal
Borobusur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan
kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan
relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di
sebelah utara Borobudur.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief | |||
---|---|---|---|
Tingkat | Posisi/letak | Cerita Relief | Jumlah Pigura |
Kaki candi asli | ----- | Karmawibhangga | 160 |
Tingkat I | dinding | a. Lalitawistara | 120 |
b. jataka/awadana | 120 | ||
langkan | a. jataka/awadana | 372 | |
b. jataka/awadana | 128 | ||
Tingkat II | dinding | Gandawyuha | 128 |
langkan | jataka/awadana | 100 | |
Tingkat III | dinding | Gandawyuha | 88 |
langkan | Gandawyuha | 88 | |
Tingkat IV | dinding | Gandawyuha | 84 |
langkan | Gandawyuha | 72 | |
Jumlah | 1460 |
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Sesuai
dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding
batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma,
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut
bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief
tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela
manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga
perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan
penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati
yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah
yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian
tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap
relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi
utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan
penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi
bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang
Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di
Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada
sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27
pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut
menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai
persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa
selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang
Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja
Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut
berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang
Buddha disebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma
dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka
adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka
menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun
juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang
melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan
persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan
Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya
bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun
dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan
kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi
Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya
terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling
terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian
cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4
Masehi.
Gandawyuha
Merupakan
deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita
Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari
Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha
Selain
wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di
Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi
teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu.
Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu
andesit.
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu,
diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya
semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama
terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung,
baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total
terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.Pada bagian Arupadhatu (tiga
pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa
berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32
stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa,
semuanya total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha,
lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang
(sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang
koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra:
Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima
arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan
memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudramelambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
Arca
Mudra | Melambangkan | Dhyani Buddha | Arah Mata Angin | Lokasi Arca | |
---|---|---|---|---|---|
Bhumisparsa mudra | Memanggil bumi sebagai saksi | Aksobhya | Timur | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur | |
Wara mudra | Kedermawanan | Ratnasambhawa | Selatan | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi selatan | |
Dhyana mudra | Semadi atau meditasi | Amitabha | Barat | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat | |
Abhaya mudra | Ketidakgentaran | Amoghasiddhi | Utara | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi utara | |
Witarka mudra | Akal budi | Wairocana | Tengah | Relung di pagar langkan baris kelima (teratas) Rupadhatusemua sisi | |
Dharmachakra mudra | Pemutaran roda dharma | Wairocana | Tengah | Di dalam 72 stupa di 3 teras melingkar |
sumber : http://madara-ku.blogspot.co.id/2012/03/arsitektur-candi-borobudur.html