Rabu, 10 Mei 2017

Tugas Konservasi Arsitektur 2

Arsitektur Pada Candi Borobudur

Denah Borobudur membentuk Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.


Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel ceritaKarmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.

Struktur bangunan

Arca singa penjaga gerbang
Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa makara.Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi. Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur. Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi.

Relief

Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jataka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobusur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
TingkatPosisi/letakCerita ReliefJumlah Pigura
Kaki candi asli-----Karmawibhangga160
Tingkat Idindinga. Lalitawistara120
b. jataka/awadana120
langkana. jataka/awadana372
b. jataka/awadana128
Tingkat IIdindingGandawyuha128
langkanjataka/awadana100
Tingkat IIIdindingGandawyuha88
langkanGandawyuha88
Tingkat IVdindingGandawyuha84
langkanGandawyuha72
Jumlah1460
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Pangeran Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha disebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

Arca Buddha

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudramelambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
 
 Arca

MudraMelambangkanDhyani BuddhaArah Mata AnginLokasi Arca
COLLECTIE TROPENMUSEUM Boeddhabeeld van de Borobudur TMnr 10016277.jpgBhumisparsa mudraMemanggil bumi sebagai saksiAksobhyaTimurRelung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur
COLLECTIE TROPENMUSEUM Boeddhabeeld van de Borobudur TMnr 60013976.jpgWara mudraKedermawananRatnasambhawaSelatanRelung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi selatan
COLLECTIE TROPENMUSEUM Boeddhabeeld van de Borobudur voorstellende Dhyani Boeddha Amitabha TMnr 10016276.jpgDhyana mudraSemadi atau meditasiAmitabhaBaratRelung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat
COLLECTIE TROPENMUSEUM Boeddhabeeld van de Borobudur voorstellende Dhyani Boeddha Amogasiddha TMnr 10016274.jpgAbhaya mudraKetidakgentaranAmoghasiddhiUtaraRelung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi utara
COLLECTIE TROPENMUSEUM Boeddhabeeld van de Borobudur voorstellende Dhyani Boeddha Vairocana TMnr 10015947.jpgWitarka mudraAkal budiWairocanaTengahRelung di pagar langkan baris kelima (teratas) Rupadhatusemua sisi
COLLECTIE TROPENMUSEUM Boeddhabeeld van de Borobudur TMnr 60019836.jpgDharmachakra mudraPemutaran roda dharmaWairocanaTengahDi dalam 72 stupa di 3 teras melingkar 
sumber : http://madara-ku.blogspot.co.id/2012/03/arsitektur-candi-borobudur.html

Tugas Konservasi Arsitektur 1

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ARSITEKTUR DI INDONESIA

Sejarah Arsitektur Indonesia

Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan bangunan baru  kontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang dibangun oleh  zaman kuno. Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari arsitektur tradisional,  terutama bangunan rumah hunian, dengan beberapa penyesuaian membangun  oleh beberapa generasi ke generasi. Arsitektur Baru atau kontemporer lebih  banyak menggunakan materi dan teknik konstruksi baru dan menerima pengaruh  dari masa kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan. Pengenalan semen dan  bahan-bahan modern lainnya dan pembangunan dengan pertumbuhan yang cepat  telah menghasilkan hasil yang beragam. 

Arsitektur Klasik Indonesia 
Ciri khas arsitektur klasik Indonesia dapat dilihat paada bangunan candi dengan  struktur menaranya. Candi Buddha dan Hindu dibangun dari batu, yang dibangun
 di atas tanah dengan cirikhas piramida dan dihiasi dengan relief. Secara simbolis,
 bangunan adalah sebagai representasi dari Gunung Meru yang legendaris, yang 
dalam mitologi Hindu-Buddha diidentifikasi sebagai kediaman para dewa. Candi  Buddha Borobudur yang terkenal dari abad ke-9 dan Candi Prambanan bagi umat  Hindu di Jawa Tengah juga dipenuhi dengan gagasan makro kosmos yang  direpresentasiken dengan sebuah gunung. Di Asia Timur, walau dipengaruhi oleh  budaya India, namun arsitektur Indonesia (nusantara) lebih mengedapankan  elemen-elemen masyarakat lokal, dan lebih tepatnya dengan budaya petani. 

Budaya Hindu paling tidak 10 abad telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia  sebelum pengaruh Islam datang. Peninggalan arsitektur klasik (Hindu-Buddha)  di Indonesia sangat terbatas untuk beberapa puluhan candi kecuali Pulau Bali  yang masih banyak karena faktor agama penduduk setempat.

Arsitektur tradisional dan vernakular di Indonesia berasal dari dua sumber.  Pertama adalah dari tradisi Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui  Jawa. Yang kedua adalah arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang  kebanyakan ditemukan di daerah pedesaan dibangun dengan menggunakan  bahan-bahan alami seperti atap ilalang, bambu, anyaman bambu, kayu kelapa,  dan batu. Bangunan adalah penyesuain sepenuhnya selaras dengan lingkungan  sekitar. Rumah-rumah di pedalaman di Indonesia masih banyak yang menggunakan  bambu, namun dengan seiring dengan proses modernisasi, bangunan-bangunan  bambu ini sedikit demi sedikit diganti dengan bangunan dinding bata.
Bangunan vernakular yang tertua di Indonesia saat ini tidak lebih dari sekitar 150  tahun usianya. Namun dari relief di dinding abad ke-9 di candi Borobudur di Jawa  Tengah mengungkapkan bahwa ada hubungan erat dengan arsitektur rumah  vernakular kontemporer yang ada saat ini. Arsitektur vernakular Indonesia juga  mirip dengan yang dapat ditemukan di seluruh pulau-pulau di Asia Tenggara.  Karakteristik utamanya adalah dengan digunakannya lantai yang ditinggikan  (kecuali di Jawa), atap dengan kemiringan tinggi menyerupai pelana dan  penggunaan material dari kayu dan bahan organik tahan lama lainnya. 

Pengaruh Islam dalam Arsitektur 
Budaya Islam di Indonesia dimulai pada tahun 13 Masehi ketika di Sumatra  bagian utara muncul kerajaan Islam Pasai di 1292. Dua setengah abad kemudian  bersama-sama juga dengan orang-orang Eropa, Islam datang ke Jawa. Islam tidak  menyebar ke kawasan Indonesia oleh kekuatan politik seperti di India atau Turki  namun lebih melalui penyebaran budaya. Budaya Islam pada arsitektur Indonesia  dapat dijumpai di masjid-masjid, istana, dan bangunan makam. 

Menurunnya kekuatan kerajaan Hindu Majapahit di Jawa menandai bergantinya  periode sejarah di Jawa. Kebudayaan Majapahit tersebut meninggalkan  kebesarannya dengan dengan serangkaian candi-candi monumental sampai abad  keempat belas. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa "Zaman Klasik" di Jawa  ini kemudian diganti dengan zaman "biadab" dan juga bukanlah awal dari  "Abad Kegelapan". Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam melanjutkan budaya  lama Majapahit yang mereka adopsi secara jenius. "New Era" selanjutnya  menghasilkan ikon penting seperti masjid-masjid di Demak, Kudus dan Banten  pada abad keenam belas. Juga dengan situs makam Imogiri dan istana-istana  Yogyakarta dan Surakarta pada abad kedelapan belas. Fakta sejarah  menunjukkan bahwa Islam tidak memperkenalkan bentuk-bentuk fisik baru dan  ajaran-ajarannyapun diajarkan lebih dalam cara-cara mistis oleh para sufi, atau  dengan kata lain melalui sinkretisme, sayangnya hal inilah yang mempengaruhi  ‘gagal’nya Islam sebagai sebuah sistem baru yang benar-benar tidak  menghapuskan warisan Hindu ( lihat Prijotomo, 1988).
 
1. masjid kudus
https://ilmuygdicari.files.wordpress.com/2011/08/masjid-kudus.jpg

Penyebaran Islam secara bertahap di kawasan Indonesia dari abad ke-12 dan  seterusnya dengan memperkenalkan serangkaian penting pengaruh arsitektur.
 Namun, perubahan dari gaya lama ke baru yang lebih bersifat ideologis baru 
kemudian teknologi. Kedatangan Islam tidak mengarah pada pengenalan  bangunan yang sama sekali baru, melainkan melihat dan menyesuaikan bentuk- bentuk arsitektur yang ada, yang diciptakan kembali atau ditafsirkan kembali  sesuai persyaratan dalam Islam. Menara Kudus, di Jawa Tengah, adalah contoh  dalam kasus ini. Bangunan ini sangat mirip dengan candi dari abad ke-14 di era  kerajaan Majapahit, menara ini diadaptasi untuk kepentingan yang lebih baru  dibangun masjid setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Demikian pula,  masjid-masjid di awal perkembangan Islam di Indonesia murni terinspirasi dari  tradisi bangunan local yang ada di Jawa, dan tempat lain di Nusantara, dengan  empat kolom utama yang mendukung atap tengahnya. Dalam kedua budaya ini  empat kolom utama atau Saka Guru mempunyai makna simbolis. 

Gaya Belanda dan Hindia Belanda 
Pengaruh Barat di mulai jauh sebelum tahun 1509 ketika Marco Polo dari Venesia
 melintasi Nusantara di 1292 untuk kegiatan perdagangan. Sejak itu orang-orang 
Eropa berusaha untuk merebut kendali atas perdagangan rempah-rempah yang  sangat menguntungkan. Portugis dan Spanyol, dan kemudian Belanda,  memperkenalkan arsitektur mereka sendiri dengan cara awal tetap menggunakan
 berbagai elemen arsitektur Eropa, namun kemudian dapat beradaptasi dengan 
tradisi arsitektur lokal. Namun proses ini bukanlah sekadar satu arah: Belanda  kemudian mengadopsi unsur-unsur arsitektur pribumi untuk menciptakan bentuk  yang unik yang dikenal sebagai arsitektur kolonial Hindia Belanda. Belanda juga  sadar dengan mengadopsi arsitektur dan budaya setempat kedalam arsitektur  tropis baru mereka dengan menerapkan bentuk-bentuk tradisional ke dalam  cara-cara modern termasuk bahan bangunan dan teknik konstruksi. 

2. Gereja Bleduk
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQMBqaHypNhPcHIFi8Ucc2FN3JnkvbEsnetyeXIjOSbWbfL-D8Bs-6EdOvBhE5IIjjcjqslGXqEDzN3CgGfLs4zCSrPT2DSuj1K1S2B0oYoOt9WtT25DQFolMoP5nkCqC_x3Dh5iUL0Ks/s320/gereja+blenduk.JPG

Bangunan kolonial di Indonesia, terutama periode Belanda yang sangat panjang  1602 - 1945 ini sangat menarik untuk menjelajahi bagaimana silang budaya  antara barat dan timur dalam bentuk bangunan, dan juga bagaimana Belanda  mengembangkan aklimatisasi bangunan di daerah tropis. Menurut Sumalyo (1993),
 arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah fenomena budaya unik yang 
pernah ditemukan di tempat lain maupun di tanah air mereka sendiri.  Bangunan-bangunan tesebut adalah hasil dari budaya campuran kolonial dan  budaya di Indonesia. 

Perbedaan konsep Barat dan Indonesia ke dalam arsitektur adalah terletak pada  korelasi antara bangunan dan manusianya. Arsitektur Barat adalah suatu  totalitas konstruksi, sementara itu di Timur lebih bersifat subjektif, yang lebih  memilih penampilan luar terutama façade depan. Kondisi alam antara sub-tropis  Belanda dan tropis basah Indonesia juga merupakan pertimbangan utama  bangunan Belanda di Indonesia. 

Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk  bangunan mereka di awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal kolonisasi  Eropa awal abad 18, jenis bangunan empat musim secara langsung dicangkokkan  Belanda ke iklim tropis Indonesia. Fasade datar tanpa beranda, jendela besar,  atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di bagian tertua kota bertembok  Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama (Widodo, J. dan YC. Wong 2002). 

Menurut Sumintardja, (1978) VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat  kegiatan perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia sebagai  benteng Batavia. Di dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni, memiliki  bentuk yang sederhana seperti rumah asli di awal tapi belakangan diganti  dengan rumah gaya Barat (untuk kepentingan politis). Dinding batu bata rumah,  mereka mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap genteng  dan interior furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama rumah-rumah  tanpa halaman, dengan bentukan memanjang seperti di Belanda sendiri. Rumah- rumah ini ada dua lantai, sempit di façade tapi lebar dalam. Rumah tipe ini  selanjutnya banyak digunakan oleh orang-orang cina setelah orang Belanda  beralih dengan rumah-rumah besar dengan halaman luas. Rumah-rumah ini  disebut sebagai bentuk landhuizen atau rumah tanpa beranda dalam periode awal,  setelah mendapat aklimatisasi dengan iklim setempat, rumah-rumah ini dilengkapi  dengan beranda depan yang besar seperti di aula pendapa pada bangunan  vernakular Jawa. 

Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami  gempa dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun  hanya dalam satu lantai saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat,  rumah-rumah itu kembali dibangun dengan dua lantai lagi. 

Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah  pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW)  pada 1814-1930. Sekitar tahun 1920-an 1930-an, perdebatan tentang masalah  identitas Indonesia dan karakter tropis sangat intensif, tidak hanya di kalangan  akademis tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda, seperti Thomas  Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak lainnya,  terlibat dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian
 yang paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia adalah 
periode sekitar 1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi  mengembangkan sebuah wacana baru yang dikenal sebagai "Indisch-Tropisch" yaitu
 gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi Belanda 

Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar koridor  yang memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari sinar  matahari langsung dan lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih tinggi dan  kadang-kadang dibangun oleh dua lapis dengan ruang yang digunakan untuk  ventilasi panas udara. 

Arsitek-arsitek Belanda mempunyai pendekatan yang baik berkaitan dengan alam  di mana bangunan ditempatkan. Kesadaran mereka dapat dilihat dari unsur  konstruksi orang yang sangat sadar dengan alam. 
Dalam Sumalyo (1993,): Karsten pada tahun 1936 dilaporkan dalam artikel:  "Semarangse kantoorgebouwen" atau Dua Office Building di Semarang Jawa Tengah: 

1. Pada semua lantai pertama dan kedua, ditempatkan pintu, jendela, dan  ventilasi yang lebar diantara dia rentang dua kolom. Ruangan untuk tiap lantai  sangat tinggi; 5, 25 m di lantai pertama dan 5 m untuk lantai dua. Ruangan yang  lebih tinggi, jendela dan ventilasi menjadi sistem yang baik untuk memungkinkan  sirkulasi udara di atap, ada lubang ventilasi di dinding atas (di atas jendela) 

2. Disamping lebar ruang yang lebih tinggi, koridor terbuka di sisi Barat dan Timur  meliputi ruang utama dari sinar matahari langsung. 

Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak orang  membangun vila mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi  beradaptasi dengan alam ditandai dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor  terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari sinar matahari langsung.  Di Bandung, Villa Isolla adalah salah satu contoh arsitektur yang baik ini (oleh Schoemaker1933) 

3.villa isola
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg28WnXJVn7faDxoTlqX-wF0OMkvlNNe8WHpjoG6cipIoFmVfva9Ooa0kDhbMQCdTVYgJlxh0g8av_zuEXdAxTEhiJAeN8THRL3u8rvVQlUK92SPaZ8iqRmYkKxYkLSBkiO5wrVGjkwMHBv/s1600/villa-isola-bandung3.jpg

Arsitektur Kontemporer Indonesia 
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, bangunan modern mengambil alih  Indonesia. Kondisi ini berlanjut ke tahun 1970-an dan 1980-an ketika  pertumbuhan eknomi yang cepat Indonesia yang mengarah pada program-program  pembangunan besar-besaran di setiap sector mulai dari skema rumah murah,  pabrik-pabrik, bandara, pusat perbelanjaan dan Banyak proyek bergengsi yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang diterapkan
 diri mereka untuk merancang secara khusus untuk konteks Indonesia. Seperti 
halnya kota-kota besar di dunia, terutama di Asia, sebagai korban dari globalisasi  terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi budaya.


Arsitektur modern Indonesia umumnya mulai di sekitar tahun 50an dengan  dominasi bentuk atap. Model bangunan era kolonial juga diperluas dengan teknik
 dan peralatan baru seperti konstruksi beton, AC, dan perangkat lift. Namun,
 sepuluh tahun setelah kemerdekaan, kondisi ekonomi di Indonesia belum cukup
 kuat. Sebagai akibat, bangunan yang kurang berkualitas terpaksa lahir. Semua itu
 sebagai upaya untuk menemukan arsitektur Indonesia modern, seperti halnya 
penggunaan bentuk atap joglo untuk bangunan modern. 

Arsitektur perumahan berkembang luas pada tahun 1980-an ketika industri  perumahan booming. Rumah pribadi dengan arsitektur yang unik banyak lahir  tapi tidak dengan perumahan massal. Istilah rumah rakyat, rumah berkembang,
 prototipe rumah, rumah murah, rumah sederhana, dan rumah utama dikenal 
baik bagi masyarakat. Jenis ini dibangun dengan ide ruang minimal, rasional  konstruksi dan non konvensional (Sumintardja, 1978) 


Permasalahan untuk Arsitektur Indonesia 
Gerakan-gerakan baru dalam arsitektur seperti Modernisme, Dekonstruksi, Postmodern, dll tampaknya juga diikuti di Indonesia terutama di Jawa. Namun, dalam kenyataannya, mereka menyerap dalam bentuk luar saja, bukan ide-ide dan proses berpikir itu sendiri. Jangan heran jika kemudian muncul pandangan yang dangkal; "Kotak-kotak adalah Modern, Kotak berjenjang adalah pasca Modern"
 (Atmadi, 1997). Arsitektur hanya hanya dilihat sebagai objek bukan sebagai
lingkungan hidup.

Sumalyo, (1993) menyatakan bahwa pandangan umum arsitektur Barat: 'Purism',  di mana untuk menunjuk Bentuk dan Fungsi, adalah berlawanan dengan  konsep-konsep tradisi yang memiliki konteks dengan alam. Kartadiwirya, dalam  Budihardjo (1989,) berpendapat, mengapa prinsip tropis 'nusantara' arsitektur  jarang dipraktekkan di Indonesia adalah karena pemikiran dari proses  perencanaan tidak pernah menjadi pemikiran. Mereka hanya hanya mengajarkan  tentang perencanaan konvensional selama 35 tahun tanpa perubahan berarti  sampai beberapa hari. Sayangnya hamper semua bahan pengajaran dalam  arsitektur berasal dari cara berpikir Barat yang menurut Frick (1997) telah  menghasilkan kelemahan arsitektur Indonesia. Dia juga menjelaskan bahwa  Bahan menggunakan bangunan modern hanya karena alasan produksi massal  yang lebih 'Barat' dan jauh dari tradisi setempat. Kondisi ini telah memicu  penggunaan bahan yang tidak biasa dan tanpa kondisi lokal.

sumber : http://albertusfajarc.blogspot.co.id/