Rabu, 07 Januari 2015

KONSEP PEMBANGUNAN KOTA BERWAWASAN LINGKUNGAN

        Perubahan iklim yang terjadi pada dua dekade belakangan ini akan menjadi masa perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak pasti. Hal ini tentunya menjadi kekhawatiran bagi umat manusia akan timbulnya bencana alam yang datang secara tiba-tiba.
      Apalagi saat ini dunia sedang dihadapkan pada permasalahan degradasi kondisi lingkungan seperti pencemaran air, udara dan tanah tidak terelakkan lagi seiring perkembangan pembangunan di seluruh dunia terutama di perkotaan.
        Urbanisasi secara besar-besaran terjadi di sebagian besar kota-kota besar di dunia karena tidak ada keseimbang pembangunan antara desa dan kota. Daya dukung kota-kota semakin lemah dalam memfasilitasi kebutuhan warga kota dan polusi udara dan pencemaran air serta tanah semakin menjadi. Lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat kita perlukan karena merupakan unsur penentu kehidupan bagi manusia dan makluk hidup lainnya. 
        Pemenuhan kebutuhan warga untuk bisa hidup sehat, nyaman dan sejahtera, menjadi persoalan yang perlu dicari solusinya oleh semua pihak. Seiring jalannya pembangunan, dalam upaya memberikan kenyaman dan lingkungan sehat bagi warga kota, Konsep “Green City” dan “Eco City” (kota hijau berwawasan lingkungan) dapat menjadi solusi bagi pelaku pembangunan kota.
Kota hijau yang dimaksud di sini adalah pengefektifan dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi).
      Kota Hijau memiliki delapan atribut dalam hal prosesnya yaitu Green Planning and Desain, Green Community, Green Building, Green Energy, Green Water, Green Transportation, Green Waste, Green Openspace.
    Green Building Council Indonesia (GBCI) mencatat dampak dari bangunan gedung rerata mengeluarkan 30 persen emisi CO2, sekitar 17 persen air bersih, konsumsi kayu 25 persen, energi (30-40 persen), dan faktor-faktor lain hingga 100% persen.
        Untuk mewujudkan Indonesia menjadi Kota Hijau dalam rangka menghadapi perubahan iklim, diperlukan kerja sama dari masyarakat dan pemerintah. Tindakan sebelumnya yang dimulai dari konsep, ditingkatkan menjadi aksi nyata bersama.
          Pemerintah Indonesia sendiri saat ini telah mencanangkan program kota hijau yang berbasiskan masyarakat (empowerment), melalui programnya yaitu Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang dalam implementasinya dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten dan Kota.
        Kendala Penerapan sistem “Green Building” di Indonesia khususnya kota-kota besar seperti Kota Surabaya hingga kini dinilai belum dilakukan secara maksimal dan belum merata karena masih banyak gedung-gedung yang belum banyak menerapkan sistem tersebut.
      “Green building” atau bangunan yang memiliki visi ramah lingkungan tidak terbatas pada gedung-gedung bertingkat, melainkan bangunan lain seperti perumahan. Kota Surabaya sebenarnya sudah menerapkan itu, hanya saja tidak semua orang yang mengetahuinya. Makanya saat ini perlu dikembangkan dan didengungkan.
        Bangunan memberikan kontribusi yang besar terhadap gas rumah kaca, selain transportasi massal cepat. Karena itulah, mau tidak mau “green building” jadi prioritas agar kualitas lingkungan lebih baik.
       Gedung pemerintahan di Surabaya masih banyak yang belum menerapkan sistem tersebut, sehingga ke depan, pihaknya akan menekankan untuk kantor pemerintahan mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga kantor setingkat dinas di pemerintah kota menerapkannya.
        Prinsip sudah diterapkan dan sudah ada evaluasi untuk gedung pemerintahan, tinggal bagaimana mengoptimalkan sirkulasi pencahayaan alami, sirkulasi udara yang tidak semata-mata mengandalkan AC dan instalasi pengolaan limbah.
         Untuk gedung yang sudah menerapkan sistem “green building” di antaranya adalah gedung BRI Tower, Graha Pangeran dan Graha Wonokoyo. Untuk gedung Graha Pangeran dan Graha Wonokoyo sudah mendapatkan sertifikat “green building” dari ASEAN Center for Energy Awards 2002.
      Dwija mengatakan dengan menjadikan gedung ramah lingkungan di Surabaya secara tidak langsung bisa mengurangi pemanasan global. Bangunan atau gedung dengan banyak kaca justru mampu menyumbang karbon sampai 50 persen.
         Selain gedung pemerintahan dan swasta, Pemkot Surabaya juga sudah menerapkannya di sistem tersebut di tingkat perkampungan melalui “green and clean”, seperti Kampung Legundi yang kini sudah bisa mengolah limbahnya sendiri.
      Sistem “green building” tentunya harus didukung dengan penataan jalan yang lebih baik. Ia memberikan contoh kondisi jalan yang ada, seperti Jalan Lingkar Timur, Lingkar Luar Timur, Jalan Lingkar Luar Barat dan lainnya. Semua itu menjadi pendukung Surabaya untuk menjadi Green City.
     Untuk memacu semangat menerapakan “green building”, Pemkot Surabaya pada tahun mendatang akan menggelar Green Building Awareness Award 2014. Penghargaan ini akan diberikan kepada pihak yang telah menjalankan konsep “green building” di gedung atau bangunannya.
         Ada enam kriteria yang diukur dalam “green building” yakni rencana pengembangan bangunan yang tepat (site development), efisiensi energi, efisiensi air, penggunaan material yang tepat, kenyamanan dan kesehatan dalam ruangan (indoor) dan manajemen lingkungan dalam bangunan.
      Intinya, Green Building Awareness Award 2014 menitikberatkan pada upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan pemangku kepentingan (pihak pengembang, pengelola bangunan, pengguna bangunan, dan masyarakat luas) terhadap pentingnya “green building”.
      Ia mengatakan sebaik apapun bangunan didesain, namun jika pengguna tidak tahu berprilaku yang baik sesuai prinsip “green building”, maka percuma saja. Seperti halnya, jika seseorang menggunakan ac secara berlebihan sampai 16 derajat celcius, padahal kenyataan orang tersebut kedinginan sehingga harus memakai selimut.
Contoh tersebut adalah fakta bahwa masyarakat tidak punya sensitivitas terhadap lingkungan.
         Beberapa konsep yang pernah dikemukakan para pakar dalam melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah : pelestarian ekologi, teknologi Hijau dan mengatasi pencemaran lingkungan.

        Tujuan dari pembangunan berwawasan lingkungan yaitu mewujudkan bumi ini sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

        Prinsip dasar pembangunan yang berkelanjutan menurut Research Triangle Institute, 1996 terdiri atasaspek-aspek (Budihardjo, Sutarto; 1999) : 
1.  Ekonomi (Kesejahteraan) 
2.  Ekologi (Lingkungan) 
3.  Equity (Pemerataan) 
4.  Engagement (Peranserta) 
5.  Energi 
Dua aspek yang berkaitan erat dengan fisik adalah Ekologi (Lingkung an) dan Energi. 

        Permasalahan dalam sistem perencanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, terkadang terkendala oleh perencanaan pembangunan yang masih dipengaruhi oleh sistem politik, kurangnya keterlibatan masayarakat, prinsip Bottom up dan Top Down yang tidak berjalan dengan baik, serta banyak kalangan yang ingin mencari keuntungan pribadi dan kelompok dalam perencanaan pembangunan tersebut. Sebagai contoh saja dalam sistem perpolitikan saat ini, banyak politisi yang menarik simpati dari masyarakat dengan membuat kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan namun dibalik itu semua mereka sebenarnya sedang berjuang untuk kepentingan dan mencari keuntungannya sendiri.
Referensi :
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2014/01/23/kota-pembangunan-yang-berwawasan-lingkungan-626741.html
http://beritadaerah.co.id/2013/12/02/pentingnya-pembangunan-kota-hijau-berwawasan-lingkungan/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15917/1/sti-okt2005-%20(5).pdf